Jumat, September 04, 2009

Cerita Buat Mirna


Pada sepotong bambu, lelaki itu menuliskan kata-katanya dengan sebilah pisau yang dipanggang pucuknya. Lalu diletakannya potongan bambu itu di bawah pohon jati tua, tempat lelaki itu dan kekasihnya biasa bertemu. Inilah Mir, tulisan lelaki itu, 
aku mengapung di telagamu
mendung pun gugurkan hujan
angin bertiup menuju tenggara
aku terjebak di gelisah matamu
mabuk aku oleh pesonamu
cintaku tak habis di makan waktu, di makan waktu
Begitulah kata-kata terakhir lelaki itu. Menurut seorang wanita pencari daun jati yang berpapasan dengannya di sebuah simpang jalan setapak, lelaki itu pergi bersama angin, menuju Tenggara.
Semenjak itu, Mir, tiada ada lagi kabar mengenai lelaki itu. Pun ketika gadis cantik yang dikenal orang sebagai kekasihnya menyusul ke arah Tenggara yang berujung di sebuah lautan, tak dijumpainya jejak kaki lelaki itu di sana.
Sempat berhari-hari kekasih lelaki itu menunggu di tepian pantai, sambil matanya terus awas memandang ombak laut yang bergelora. Sepanjang penantiannya, harapan perempuan itu pun seperti gelombang. Kadang membubung saat matanya menangkap layar perahu berkebaran di tengah samudra, tapi sesaat kemudian harapannya pecah menjadi buih ketika tak dijumpainya lelaki yang dicintainya bersama perahu yang menepi ke pantai.
Genap pada hari ke tujuh penantiannya, perempuan itu tak sadarkan diri. Wajahnya yang tirus semakin runcing karena tinggal kulit pembungkus tulang pada raganya yang mengenaskan.
Para nelayan yang menemukannya di bawah pokok kelapa yang telah tumbang, segera membawanya berteduh ke sebuah gubuk. Orang-orang mengira perempuan muda itu telah mati. Sebab tak ada lagi tanda kehidupan yang tampak padanya. Kecuali denyut lembut di nadi tangannya yang menandakan nyawanya belum sempurna pegat dari tubuhnya.
Para perempuan yang merubungnya menangis tersedu-sedu atas nasib perempuan muda yang tak pernah mereka kenal sebelumnya itu. Barangkali mereka merasa seperti menemukan anak gadis mereka sendiri yang kini papa dan tak berdaya.
Mendadak perempuan muda itu bergerak. Berbarengan dengan gerakannnya yang cuma sesaat, menggelindinglah sepotong bambu dari saku gaunnya. Salah seorang perempuan nelayan memungutnya. Meski tak mengerti dengan makna torehan di kulit potongan bambu tersebut, tapi perempuan nelayan itu merasakan getaran di kalbunya. Getaran mengharukan yang terpancar dari guratan-guratan indah yang dihiasi gambar bunga anggrek bulan.
Itulah, Mir, potongan bambu yang ditinggalkan sang pemuda. Itulah, Mir, potongan bambu yang pada tiap pagi dilemparkan ke laut oleh sang gadis, namun gelombang laut senantiasa mengantarkannya kembali  ke pantai pada sore harinya.
Pada hari pertama pencariannya di pantai itu, sang gadis yang telah menambahi kata-kata balasan di bawah kata-kata sang pemuda, berharap, gelombang laut akan membawa potongan bambu tersebut kepada sang kekasih.
Tapi begitulah, balasan kata-katanya tak pernah sampai pada alamat yang dituju. Potongan bambu itu senantiasa balik ke si pengirim. Demikian senantiasa yang terjadi sepanjang tujuh hari sebelum sang gadis tak sadarkan diri saat senja, pada hari yang ke tujuh.

Tahukah kamu, Mir, apa yang terjadi kemudian?
Gerakan sesaat sang gadis yang mengejutkan para perempuan nelayan itu, kiranya gerakan yang mengantarkan sang gadis pada sebuah perjumpaan dengan dirinya sendiri.
Sebuah perjumpaan yang penuh pesona. Sebab, baru kali itulah sang gadis menemukan wajahnya seelok-elok rupa. Tak cuma cahaya yang memancar dari tubuhnya, tapi juga wangi seribu bunga, wangi seribu bunga.
Inilah rupanya buah dari kesetiaannya pada pesan sang pemuda, jauh sebelum sepasang kekasih itu berpisah.
"Jika tiba saatnya, jangan pergi ke mana pun jua jika tak dengan dirimu sendiri," demikian pemuda kekasihnya itu berkata pada sebuah purnama raya.
Itulah soalnya, Mir, sang gadis tetap berdiam diri di denyut nadinya yang tipis kendati orang-orang terkasih yang telah berlayar ke alam kubur mengajaknya pergi dengan sebuah kereta kencana.
Lalu tubuh bercahaya itu membibimbingnya pergi meninggalkan gubuk, pantai, para nelayan, dan tubuhnya sendiri yang mulai kaku.
Tak ada lagi kepedihan di hatinya. Kebahagiaan, Mir..., kebahagiaan benar-benar telah menguasainya. Sebab yang ada di hadapannya adalah taman yang di dalamnya mengalir sungai yang airnya sebening kaca dengan ikan aneka warna. Sementara di dua tepian sungai itu, menghampar tanaman bunga aneka rupa dengan burung-burung dan kupu-kupu yang senantiasa terbang rendah.
Kau tahu, Mir? Segala yang diinginkan sang gadis secepat kilat langsung ada di hadapannya. Maka kupu-kupu itu pun mengitarinya sesuai dengan keinginan sang gadis. Lalu ia pun minta sebuah simfoni yang dimainkan oleh burung-burung, angin, pohonan cemara, serta air sungai.
Sang gadis pun terlena dalam keindahan yang tak bertepi. Tapi...olala, mendadak ia disergap kerinduan pada kekasihnya. Belum sempat keinginannya itu terucap, mendadak sebuah suara yang amat dikenalinya memanggil dirinya.
"Aku di sini, dinda," seru sang pemuda dari balik rimbun pohon bunga melati.
"Wahai kanda, engkaukah itu?" Sahut sang gadis setengah tak percaya.
"Inilah aku adanya, dinda."
Dan kupu-kupu di taman itu pun segera membimbing mereka dengan kepak sayapnya yang halus untuk segera bertemu.
"Tak pernah kutemui engkau secantik ini, dinda," kata sang pemuda ketika telah berhasil memegang jemari kekasihnya.
"Engkau juga kanda, parasmu tampan tak terkira."
Malam tiba. Bulan kembar memancar dengan cahayanya yang putih keunguan. Sepasang kekasih yang dirundung asmara itu kini menikmati wajah bulan dari tepian telaga.
Sambil menikmati nyanyian ganggang dan kunang-kunang, mereka mengenangkan hari-hari berat yang telah lewat.
"Mengapa kita ketemu di sini, kanda?"
"Sebab cuma di sini kita bisa mendapatkan cinta. Inilah tanah cinta itu, dinda."
"Cinta?"
"Ya, cinta."
"Cuma di sini kita bisa mendapatkan cinta?"
"Ya. Di luar tempat ini, cinta tak pernah bisa tumbuh dengan subur."
"Kenapa, kanda?"
"Karena tempat di luar tanah ini, telah kotor oleh tipu daya. Maka mereka yang mencoba mengejar cinta, pastilah akan jatuh dalam kesia-siaan."
"Seperti kita waktu itu, kanda?"
"Ya, seperti kita waktu itu. Saat semua hal, termasuk cinta, masuk dalam perhitungan untung rugi."
"Kamu menyindir ayahku?"
"Ayahmu cuma menuruti kebiasaan yang sudah hidup secara turun temurun, bahwa cinta hanya bisa tumbuh di atas tumpukan harta."
"Jadi tiada cinta selain di tempat ini, kanda?"
"Begitulah adanya."
"Tapi kenapa kita lahir? Bukankah kita lahir oleh cinta ayah dan ibu?"
"Kita lahir karena pemilik cinta menghendaki kita hidup. Ayah dan ibu kita hanya perantara bagi kelahiran kita."
"Lantas di mana cinta ketika kita mulai berada di rahim ibu?"
"Cinta tetap di sini, di tempat ini. Di otak serta hati ayah-ibu, tetap saja perhitungan adanya."
"Kenapa bisa begitu?"
"Sebab, di kehidupan kita yang dulu, sejak kecil kita cuma diajarkan bagaimana caranya agar kita bisa berjaya, tapi tidak diajarkan bagaimana caranya hidup mulia."
"Lalu apa manfaatnya para nabi diturunkan ke bumi?"
"Agar jadi saksi, bahwa cinta dan pemiliknya benar-benar ada."
"Tapi cinta cuma ada di sini, tidak di tempat lain?"
"Karenanya cuma sedikit penduduk di negeri cinta ini. Sebab, setelah para nabi mengajarkan cinta kepada penduduk bumi, hanya sedikit saja manusia yang mengerti makna cinta."
"Bukankah dulu banyak sekali manusia menyanyikan lagu cinta?"
"Sebagian kecil tahu maknanya, sebagian besar lainnya cinta cuma dijadikan bunga mulut yang juga tak terlepas dari perhitungan untung rugi."  
"Lalu, kanda... apakah sebenarnya cinta itu?"
"Cinta adalah matahari yang memberi kehidupan bagi manusia, hewan dan tumbuhan; cinta adalah lautan yang memberi tempat bagi ikan-ikan; cinta adalah embun pagi yang mengelus bumi dengan kelembutan."
"Cuma memberi ya kanda?"
"Ya. Sebab jika kita memberi sekaligus meminta, itu berdagang namanya." "Lalu apa manfaatnya kita diberi pikiran dan tenaga?"
"Agar kita memiliki kekuatan untuk memahami dan mendapatkan cinta itu."
Bulan kembar telah tenggelam di cakrawala. Lalu kini muncul matahari yang berwarna jingga. Sepasang kekasih itu sepakat untuk menjelma sepasang burung camar. Kepada pemilik cinta mereka memohon agar diperkenankan terbang ke tujuh samudra.
* * *
Saat pagi menjelang, ketika para nelayan di pantai itu hendak mengubur jasad sang gadis, lima orang nelayan yang baru pulang melaut mengabarkan telah menemukan jasad seorang pemuda tak jauh dari tempat sang gadis ditemukan kemarin.
Para nelayan itu segera tahu apa maknanya. Itulah pengantin lelaki yang minta segera dijodohkan.
Saat warga tepian pantai menguburkan jasad si pemuda dan sigadis di sebuah bukit kecil, sepasang elang mengintip dari balik mega.
Di atas kuburan mereka, tertancap bambu kering bergambar anggrek bulan. Pada bambu kering itu, sang gadis melengkapi kata-kata sang pemuda yang sebelumnya telah ada. Inilah jawaban dari si gadis itu, Mir,
dan waktu, kekasih
waktu telah mengantarku
di negeri cinta kini aku berada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kOmentar aNda

Template Design by prieto
ShoutMix chat widget